gasgus.org, Jakarta — Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI Jazilul Fawaid menyentil Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilainya melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi. Gus Jazil, begitu ia biasa disapa, mempertanyakan dasar MK ikut menormakan aturan dalam putusannya, yang belakangan kerap memicu kontroversi publik.
“Kalau dia penjaga ya enggak usah ngatur. Ini penjaga (konstitusi), tapi ikut ngatur. Bahkan, dia menyebut dirinya guardian of constitution. Dia menjadi penjaga konstitusi, MK. Nah, kok banyak keputusannya bukan hanya menjaga? Ikut ngatur pula. Norma-norma baru dibuat,” kata Gus Jazil dalam diskusi Fraksi PKB DPR RI bertajuk Proyeksi Desain Pemilu Pascaputusan MK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat.
Pernyataan Jazilul merespons putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memutuskan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan. Pemilu nasional mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Adapun pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah.
Menurut Jazilul, putusan yang ikut menormakan ketentuan baru tersebut membuat peran MK seolah bukan hanya sebagai negative legislator, tetapi juga pembuat aturan baru.
“Saya tidak mengatakan (putusan) final dan binding kemudian kami tidak akui, tapi kontroversi, dan itu muncul di Mahkamah yang di situ putusannya enggak bisa lagi dibanding lagi, sudah final, tapi kontroversi,” ucapnya.
Gus Jazil menyebut MK seharusnya cukup menjaga konstitusi tanpa mengubah desain pemilu atau menciptakan norma baru. Ia menyoroti kebiasaan MK yang beberapa kali mengubah ketentuan pemilu melalui putusan, mulai dari syarat usia calon presiden dan wakil presiden, menghapus ambang batas pencalonan presiden menjadi nol persen, hingga kini memisahkan pemilu nasional dan daerah.
“Ini lagi ada istilah baru, pemilu nasional (dipisah) dengan pemilu daerah dengan alasan ‘capek’ katanya,” ujarnya.
Beban Ganda dan Anggaran Membengkak
Selain menimbulkan kontroversi, Gus Jazil menilai putusan MK itu juga menambah beban kerja partai politik karena harus mempersiapkan dua kali tahapan pemilu secara terpisah.
“Yang pemilu lokal dan nasional itu ya tentu kami dua kali kerja kalau partai politik; yang pertama menyiapkan saksi untuk pemilu nasional; yang kedua kami juga menyiapkan saksi untuk pemilu lokal,” tuturnya.
Tak hanya itu, dia menilai pemisahan waktu penyelenggaraan juga bakal membuat anggaran penyelenggaraan pemilu bertambah signifikan. Padahal, pemilih dalam kedua pemilu itu tetap sama, hanya waktunya saja yang dibedakan.
“Yang memilih itu-itu juga, yang memilih di nasional itu, yang memilih di lokal itu. Waktunya yang dibedakan, (pemilih) tidak ada yang berubah, karena waktu yang dibedakan ada konsekuensi terhadap dana, terhadap anggaran,” kata dia.
Para Pakar Angkat Bicara
Diskusi yang dihadiri sejumlah pakar pemilu itu juga menyoroti dampak teknis dan politik dari putusan MK tersebut. Turut hadir di antaranya anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin, Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, serta peneliti utama politik BRIN Siti Zuhro.
Sejumlah peserta diskusi menilai putusan ini menuntut penyesuaian serius dari sisi teknis, termasuk penjadwalan, kesiapan logistik, dan peningkatan anggaran. Mereka juga mengingatkan pentingnya koordinasi antara penyelenggara pemilu, partai politik, dan pemerintah untuk memastikan transisi desain pemilu yang tertib.
Putusan MK sendiri, seperti dibacakan Ketua MK Suhartoyo pada Kamis (26/6), hanya mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Suhartoyo membacakan amar putusan di ruang sidang pleno MK, Jakarta.
Meski sudah diputuskan dan bersifat final serta mengikat, Gus Jazil menegaskan bahwa PKB tetap akan memperjuangkan agar desain pemilu tidak membebani rakyat dan partai politik. Ia berharap MK dapat kembali fokus pada peran utamanya sebagai penjaga konstitusi.
(Sumber: ANTARA)